Menarik membaca apa yang diberitakan media online Kompas hari ini, tentang kericuhan di Terminal 3 bandara internasional Soekarno-Hatta. Seperti diberitakan, terjadi kericuhan disebabkan adu mulut dan adu fisik antara petugas imigrasi dengan penumpang yang telah lama menunggu dalam antrian , hanya untuk mendapatkan stempel dari petugas imigrasi.
Tak pelak berita tersebut kembali ‘membakar api dendam kesumat’ suami saya pagi ini (maaf sedikit lebay). Suami saya adalah satu dari banyak pekerja Offshore dari Indonesia. Sebagian besar pekerjaan-nya menuntut dia untuk berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan sering kali berbeda Negara, mulai dari North Sea di Eropa sampai ke Afrika pernah dikunjungi. Banyak sudah bandara di dunia yang disinggahinya. Satu hal yang selalu membuatnya ‘keki/bete’ adalah ketika berhadapan dengan petugas imigrasi, khususnya di imigrasi Bandara Soetta, di bandara Negara tempat kelahirannya.
Banyak sudah cerita tentang TKI yang terkena ‘pungli’ oleh petugas imigrasi bandara Soekarno-Hatta. Sudah sering pula kit abaca pembelaan Institusi disampaikan di media massa, menyatakan mereka hanyalah ‘oknum’ nakal yang bekerja sendiri-sendiri. Suami saya dengan tegas menolak pembelaan Institusi Korup itu, bahwa yang melakukan pungli adalah sekedar ‘oknum’, dianggapnya masyarakat bodoh, jika memang benar itu oknum, mana mungkin kegiatan seperti itu terus berlangsung kasat mata, dan didiamkan saja. Suami saya bahkan sering mendapatkan ‘sinyal-sinyal’ pungli, tapi alhamdulillahnya, suami saya walaupun tampangnya lugu (maap ya ayah..), tapi bisa dan berani melawan.
Sebagai pekerja Offshore di laut lepas dan kadang bekerja di kapal konstruksi, sudah jamak kalau di dalam halaman paspor akan ditemukan stempel/cap dari imigrasi Negara tempat bekerja yang menyatakan telah bekerja di kapal atau wilayah tertentu. Cap/stempel inilah yang sering membuat masalah bagi suami saya ketika harus berhubungan dengan petugas imigrasi. Ketika mereka melihat ada stempel/cap bahwa kita pernah bekerja di suatu kapal, itulah dimana saat niat buruk (sebagian besar) mereka dimulai. Sudah bisa ditebak bahwa selanjutnya pasti kita akan divonis sebagai pelaut. Bukan masalah memang menjadi seorang pelaut, tapi pernah suatu kali suami saya ditolak masuk karena menurut mereka, pelaut yang akan naik kapal harus naik melalui imigrasi Tanjung Priok, suami saya yang panik waktu itu karena belum pernah mengalami hal seperti itu langsung menelepon kantornya, dan akhirnya bisa masuk setelah Manager suami langsung turun tangan berbicara dengan petugas tersebut melalui telepon, entah apa yang mereka dibicarakan, pastinya suami bisa lolos dengan lancar.
Ternyata kemudian diketahui bahwa para petugas imigrasi nakal itu sebenarnya mengincar uang para pekerja/pelaut yang melewati meja mereka, seakan mereka hakim yang memututskan orang boleh atau tidak melewati batas imigrasi, dengan bermodalkan cap/stempel, mereka diatas angin. Sudah merupakan rahasia umum bahwa sebagian pelaut asal Indonesia menyelipkan uang di dalam paspornya supaya mereka ‘lolos sensor’ dan tidak dipersulit. Jadi bukan karena prosedur yang katanya harus lewat imigrasi Tanjung Priok, melainkan hanya mengincar uang mereka, sungguh memuakkan, saya tidak tega membayangkan pekerja-pekerja yang belum punya pengalaman ke luar negeri akan bingung setengah mati jika mereka dihadapkan kejadian seperti itu.
Ketidakpercayaan suami akan pembelaan bahwa itu hanya ‘oknum’ sempat terbukti dengan pengalamannya sendiri. Dia yang sudah muak dengan petugas imigrasi memang sudah bertekad untuk melawan, prinsipnya lebih baik tidak berangkat kerja daripada harus membayar walaupun hanya sekedar uang rokok kepada petugas imigrasi (itung-itung jadi lebih lama libur di rumah..hehe),. Suatu saat, suami yang selalu berfirasat buruk terhadap petugas imigrasi mendapatkan firasatnya benar, sang petugas membolak-balik halaman paspor suami, sudah tentu petugas akan melihat cap kapal didalamnya, dan sejurus kemudian mulai ‘meng-interogasi’, dengan ketus bercampur jengkel suami menjawab bahwa dia bukan pelaut, tapi bekerja di Rig/Platform, beberapa kali petugas tidak mempercayainya, dan bahkan sempat mengirimkan sinyal kepada temannya di meja seberang, dan temannya sambil ketawa samar-samar berkata “wah, ga jadi dapet nih…”. Jika itu memang oknum nakal (bukan tanggung jawab institusi), apakah wajar jika kenyataannya terlihat jelas, terbukti teman-teman petugas yang lain malah seakan bercanda melihat penyelewengan seperti itu ?
Teman suami bahkan karena prinsipnya sempat dilempar-lempar dari satu bagian/kantor satu ke kantor lain selama hampir 2jam di Terminal 2 bandara yang katanya bebas pungli itu. Kenyatan selanjutnya teman saya bisa bebas saja masuk (walau kesal dan emosi karena dilempar-lempar tanpa tujuan), pun bisa lolos tanpa ada surat-surat, atau persyaratan ‘mengada-ada’ lainnya yang dijadikan alasan si petugas di meja stempel untuk menangkalnya masuk ruang tunggu pesawat.
Penderitaan suami dan rekan-rekan pelaut mungkin tidaklah seberapa dibanding saudara-saudara TKI kita, mereka yang rata-rata tidak dibekali pengetahuan/informasi yang memadai seakan pasrah ketika diminta menyerahkan uang, entah untuk alasan berkedok resmi atau bahkan terus terang dengan disertai ancaman. Beberapa modus berkedok resmi bisa terlihat dalam kasus KTKLN. Dalam hati saya berpikir, apalagi di benak orang-orang pintar pembuat kebijakan di Negara ini, belum puas akan carut marutnya kondisi TKI, malah sekarang membuat peraturan KTKLN yang tidak jelas tujuannya. Alih-alih malah menjadikan ladang pungli baru. Coba anda ketik KTKLN di google, rata-rata adalah cerita-cerita buruk pungutan liar berkedok KTKLN. Dan mungkin masih banyak lagi kesesatan lain sebagai contoh penindasan manusia atas manusia lain dengan menyalahgunakan jabatan.
Tidak sadarkah para petugas itu bahwa mereka adalah abdi Negara, yang mewakili citra bangsa di mata dunia. Di gerbang pintu masuk yang seharusnya dibanggakan ini, kelakuan memalukan masih jamak terjadi sampai detik ini. Tidak sadarkah kalau harta mereka yang didapat dari memeras orang lain dengan memanfaatkan kelemahan mereka tidaklah akan menjadi berkah untuk keluarganya. Anak istrinya setiap hari memakan uang hasil keringat orang lain yang teraniaya, semoga kita semua dijauhkan dari hal-hal terkutuk seperti itu. Dan jangan lupa, buat para sahabat pekerja migrant Indonesia, tekadkan untuk selalu menolak segala macam pungli, kita harus bisa melawan, lawan petugas KORUP, kadang mereka butuh diberi ‘shock terapi’ agar sadar kita juga bisa melawan.